Teladan Anti Korupsi itu Bernama Mahasiswa

Oleh: Khoirun Nizam

Ramai-ramai mahasiswa menggelar aksi menolak Revisi UU KPK. Tak hanya di Jakarta tetapi di pelbagai daerah lain dengan beragam cara. Apresiasi setinggi-tingginya diberikan pada mereka yang menyampaikan aspirasi dengan menaati aturan yang ada. Niat mereka sungguh mulia: KPK tak boleh senja kala. Namun, ada satu hal yang mesti diperhatikan. Apakah mahasiswa itu sungguh telah membentengi dirinya sendiri dari perilaku korupsi?
Korupsi adalah bentuk kejahatan luar biasa yang urung bisa disembuhkan. Sedihnya lagi, sebagian masyarakat menganggap korupsi sebagai hal biasa. Membiarkannya terus menggerogoti potensi negara yang menghancurkan masa depan bangsa. Kini, hampir semua segi kehidupan terjangkit penyakit korupsi tanpa terkecuali kampus. Di tempat yang konon disebut “sumber intelektualitas” ini nyatanya korupsi masih dijumpai. Kepintaran memang bukan jaminan untuk bebas dari jerat korupsi karena tak sedikit orang pintar yang justru memperkaya diri sendiri. 
Ketahuilah jika korupsi bukan hanya menyoal mengambil uang negara. Makna korupsi sendiri begitu luas. Abraham Samad, mantan Ketua KPK, mendefinisikan korupsi mencakup semua perbuatan busuk, merusak, dan amoral. Sadar atau tidak, beberapa perilaku sederhana seperti terlambat kuliah, titip absen, plagiasi atau mencontek termasuk perbuatan korupsi. Apalagi kalau sudah berkaitan dengan mark up anggaran, proposal palsu, atau penyalahgunaan beasiswa maka sudah jelas tergolong perilaku koruptif. Integritas mahasiswa pun menjadi dipertanyakan. Kemana idealisme yang selama ini digaungkan di ruang kelas atau jalanan? 
Pemberantasan korupsi tidak boleh berhenti. Upaya yang paling penting dalam pemberantasan korupsi sesungguhnya adalah mencegah korupsi agar hak rakyat kembali. Memang, mencegah korupsi tak semudah membalikkan telapak tangan. Mencegah korupsi ini sifatnya jangka panjang dan melibatkan banyak pihak. Perlu diingat bahwa perjuangan melawan korupsi bukan hanya milik Komisi Pemberantasan Korupsi. Semua pihak baik pemerintah, swasta dan masyarakat punya andil dalam memberantas perilaku koruptif. Di sinilah peran mahasiswa sebagai agen perubahan sangat diharapkan. 
Penulis bersama mahasiswa dari beragam almamater di Indonesia
(Sumber: dokumentasi FISIP Ideas Matter)
Sejarah mencatat bahwa mahasiswa punya peran penting dalam perjalanan Bangsa Indonesia. Mahasiswa dengan idealisme, keberanian, nalar kritis, dan kemampuan intelektual diharapkan mampu menjadi agen perubahan. Sebagaimana peristiwa besar seperti Kebangkitan Nasional tahun 1908, Sumpah Pemuda 1928, Proklamasi Kemerdekaan 1945, Orde Baru 1966 dan Reformasi tahun 1998 menunjukkan betapa peran mahasiswa begitu dominan. Maka tidak berlebihan jika mahasiswa menjadi garda terdepan dalam gerakan pencegahan anti korupsi Indonesia.
Ada beberapa penyebab orang melakukan korupsi, salah satu yang perlu disoroti adalah kurangnya keteladanan. Keteladanan ini menjadi penting karena punya pengaruh terhadap orang disekitarnya. Oleh karena itu, mahasiswa semestinya menjadi teladan bagi keluarga dan masyarakat dalam upaya mencegah korupsi. Harus diingat jika demonstrasi hanya satu dari sekian cara untuk mengkritisi lembaga-lembaga negara dan penegak hukum. Masih ada cara lain yang dapat ditempuh sebagai jalan mencegah perilaku koruptif. Dalam rangka mencegah korupsi setidaknya mahasiswa dapat turut andil dalam empat wilayah: lingkungan keluarga, lingkungan kampus, masyarakat dan lokal/nasional.
Pertama, lingkungan kelurga. Lingkungan keluarga menjadi tempat pertama dan utama dalam internalisasi karakter anti korupsi. Hal-hal kecil yang mungkin terkesan sederhana justru sangat mungkin memicu tumbulnya benih-benih korupsi di masa mendatang, seperti menyerobot lampu merah saat berkendara bersama orang tua, menggunakan fasilitas kantor/negara untuk keluarga hingga penggunaan produk bajakan yang melanggar hak cipta. Maka sudah sepatutnya mahasiswa mengingatkan dan menegur dengan arif nan bijaksana. Keluarga perlu menciptakan ekosistem yang anti korupsi sejak dini karena pada dasarnya kebiasaan dan pola pikir seseorang bermula oleh keluarga. Jika mahasiswa dapat memaksimalkan perannya dalam keluarga, maka minimal ada satu keluarga yang telah berhasil lepas dari jerat korupsi.
Kedua, lingkungan kampus. Kampus sebagai rumah kedua bagi mahasiswa menjadi tempat strategis untuk menciptakan karakter anti korupsi. Tak hanya mencegah mahasiswa lain atau organisasi mahasiswa tetapi mahasiswa secara pribadi harus punya integritas. Artinya, harus mengimplementasikan sembilan nilai anti korupsi yaitu jujur, peduli, mandiri, disiplin, tanggung jawab, kerja keras, sederhana, berani dan adil. Akan sangat naif bila menyuruh orang lain anti korupsi sedangkan dirinya sendiri masih nyaman dengan korupsi. Jangan ada lagi terlambat kuliah, titip absen, mencontek ujian, memberikan hadiah ke dosen, proposal bodong atau penyalah gunaan dana beasiswa. Sadarlah, wahai mahasiswa. Itu merupakan bentuk kejahatan luar biasa. Saya masih optimis ada mahasiswa yang idealis yang mengampanyekan nilai-nilai anti korupsi dalam lingkungan kampus dengan beragam cara, seperti kampanye ujian jujur, kantin kejujuran, mematuhi aturan akademik atau menggelar diskusi. Semua punya peran masing-masing.
Ketiga, lingkungan masyarakat. Pencegahan korupsi di lingkungan masyarakat membutuhkan peran mahasiswa. Mahasiswa tidak boleh diam melihat praktik korupsi yang lestari di masyarakat, seperti bagi-bagi dana proyek desa, menyuap dalam pengurusan KTP, KK, SIM atau bahkan pembuatan Surat Keterangan Tidak Mampu. Hak rakyat untuk memperoleh pelayanan pun dipersulit. Mahasiswa yang hadir dapat meluruskan sekaligus menyadarkan bahwa korupsi tidak layak dilanjutkan alih-alih masuk ke lingkaran korupsi. Pasalnya, masyarakat awam cenderung diam karena menganggap korupsi sebagai hal wajar sehingga mata rantai korupsi pun tidak pernah putus. Itu sebabnya, mahasiswa dengan idealisme dan kapasitas intelektualnya perlu memberikan edukasi ke masyarakat sekaligus membangun kesadaran bahwa korupsi adalah musuh bersama dan merugikan negara. Di era digital saat ini, maka media sosial dapat membantu edukasi korupsi yang menjangkau masyarakat lebih luas.
Keempat, tingkat lokal dan nasional. Mahasiswa perlu meningkatkan spirit pencegahan korupsi secara nasional serta menolak pelemahan pada lembaga antirasuah. Sebagaimana kondisi Komisi Pemberantasan Korupsi hari ini yang mengkhawatirkan pasca disahkannya Revisi RUU KPK. Maka menjadi wajar jika mahasiswa di pelbagai daerah menolak dan mengecam bentuk pelemahan terhadap KPK. Demonstrasi yang terjadi menjadi bukti bahwa KPK tidak sendiri. Masih banyak orang baik yang sama-sama ingin memerangi korupsi. 
Pada akhirnya, Indonesia tidak sedang kekurangan orang pintar. Indonesia butuh teladan dalam upaya mencegah anti korupsi. Mahasiswa dengan segala idealisme, keberanian dan intelektualitasnya diharapkan menjadi teladan untuk menyempurnakan misi sebagai agen perubahan. Komisi Pemberantasan Korupsi tidak sendiri. Semua pihak harus ambil bagian dalam mencegah korupsi agar hak rakyat kembali.
Hidup mahasiswa!
Hidup rakyat Indonesia!
Tulisan lainnya :
error: Mohon maaf, copy paste tidak diperkenankan !!