“Aku, Tamin, Mak!” (Pulang, halaman 9)
Kedatangannya membawa suka cita. Ibunya begitu terkejut melihat sosok tinggi, tegap dan berkulit hitam itu. Ayahnya masih tak percaya, sedang adiknya, Sumi, begitu tak asing dengan sosoknya.
Malamnya, Ayah dan Ibu Tamin banyak bercerita tentang para sahabat Tamin, Pardan dan Gamik, yang telah gugur dengan jasa heroiknya melawan Belanda. Tamin menimpali dengan kisahnya di Burma hingga fajar tiba.
Tamin juga masih ingat tentang sepetak sawah yang katanya terbaik dari seluruh desa. Namun, tanah tersebut telah terjual untuk mempertahankan hidup ayahnya. Hati Tamin sungguh sedih. Baginya tiada yang lebih berharga dari pada tanah itu. Diusahakannya waktu itu dan pada akhirnya Tamin akan menebusnya kembali.
“Sejak hari itu, Tamin menghabiskan siangnya di tengah sawah, pacul yang telah berkarat di dapur mengilau kembali, dan bajak di samping kandang telah diturunkan. Ia mendapati pinjaman sepasang sapi dari Lurah Kabul. Semua dikerjakan dengan kegembiraan yang meluap-luap.” (Pulang, halaman 43)
Tamin juga piawai dalam menembang. Dikala tubuhnya telah capai, dirinya menembang untuk pertama kali pada saat itu. Begitu merdu, membuat kenikmatan pada seluruh kampung
“Suara itu penuh dan lunak mengayunkan udara dalam rumahnya, menembusi lubang-lubang dinding dan menjalari kegelapan di luar, menyentuh daun-daun dibawa angin merayapi dinding rumah seluruh desa.” (Pulang, halaman 44)
Saat Tamin masih sibuk mencangkyl, tibalah Pak Banji yang hendak mengundang Tamin untuk hadir ke pendapa nanti malam. Acara perkumpulan warga desa guna membicarakan rencana memperbaiki kubur teman kedua akrabnya, Gamik.
Pendapa telah ramai dan Tamin merasa gembira bisa ikut berkumpul bersama para warga kampung. Keputusan malam itu jelas bahwa desa hendak memperbaiki makam Pardan dan Gamik sebagai penghargaan atas jasa-jasa mereka. Malam itu, cerita Gamik yang begitu hebat menjadi pembicaraan yang paling menarik. Tamin pun ikut mendengarkan cerita demi cerita bersama para warga.
Tiba pada giliran Tamin diminta untuk bercerita tentang pengembaraannya selama tujuh tahun lalu. Ia begitu bingung dan gugup. Bagi Tamin, tak ada cerita yang pantas disandingkan dengan cerita sebelumnya. Cerita pertempuran melawan serdadu Inggris dan Gurkha sudah pasti bukan hal yang menarik. Padahal warga kampung sudah menantikan kisah Tamin yang dianggap seorang pahlwan gerilyawan.
Tak ingin mengecawakan warga kampung, Tamin pun terpaksa berbohong. Ia mengarang cerita tentang bagaimana ia bergerilya melawan penjajah di lereng Gunung Cupu, Pasundan, Jawa Barat. Kebohongan ini menjadi awal kegelisahan. Kebohongan demi kebohongan dilakukan untuk menutupi kebohongan sebelumnya. Batin Tamin tidak tenang karena terus-terusan memikirkan bagaimana reaksi para warga kampung seadainya tahu bahwa dirinya adalah pembohong. Bahkan, adiknya, Sumi, sempat ditampar olehnya karena terus bertanya tentang kisah khayal itu. Kegelisahan telah memuncak, akhirnya ia pergi dari rumah dan kampung halamannya lagi.
Suatu hari dalam pengembaraannya yang telah empat bulan, Tamin dipertemukan dengan Pak Banji di sebuah kota. Masih dengan prasangka bahwa seluruh warga desa sudah tahu tentang kisah bohongnya. Namun, menjadi pertemuan yang penuh penyesalan karena Pak Banji mengabarkan Ayah Tamin telah meninggal dunia. Tamin begitu menyesal.
Sekalipun Ayahnya telah tiada, keinginannya untuk pulang masih belum bulat. Dalam hatinya masih dihinggapi rasa takut bila nanti warga kampung marah karena kebohongannya. Kemudian Pak Banji menceritakan bahwa selama ini seluruh warga desa yang tolong menolong memotong padi tanpa segantang jua sebagai upah. Bagi Tamin itu menjadi pertanda bahwa kebohongannya belum terbongkar, barulah berjanji untuk pulang.
Ia pun langsung menghadap makam ayahnya. Diciuminya nisan itu dan air mata yang jatuh jua. Sumi datang dengan ketidakpercayaanya, dan dipeluk kakaknya. Sekarang, Tamin hanya punya Ibu, Sumi dan Sawah. Malam ini akan ada yang menembang lagi untuk Sumi dan Isah-adiknya Gamik-yang telah menangis nan merindu sejak kepergian Tamin.
Heiho sebenarnya bukan jalan yang Tamin pilih. Dalam hati kecil ia berkeyakinan bahwa sebenarnya dirinya tidak sepenuhnya bersalah ketika menjadi tentara Heiho. Waktu itu ia sangat terpengaruh dengan propaganda Jepang dan sekutunya.
Novel Pulang ini mengambil latar tempat di sebuah kampung di kaki Gunung Wilis, yang secara apik digambarkan oleh Toha Mohtar. Meskipun bahasa yang digunakan cenderung sederhana, namun bagi saya sudah lebih dari utuh dan membuat terhanyut dengan deskripsi yang diberikan. Memang tidak perlu diragukan lagi kemampuan berbahasa yang dimiliki oleh Toha Mohtar. Tidak ada istilah yang sulit dipahami yang justru membuatnya sederhana dan menyegarkan.
“Matahari telah menyembunyikan diri seluruhnya di balik Gunung Wilis, tinggal cahayanya yang bertambah lemah menembusi langit dan memberikan ciuman terakhir pada mendung yang berarak-arak di atas kepala. Turunnya senja kala itu disambut oleh kesepian; burung-burung yang pulang sarang malas berkicau.” (Pulang, halaman 7)
Selain itu, kecintaan dan ketaatan keluarga adalah hal yang utama. Sejauh apapun pengembaraan, keluarga bukan yang harus dilupakan. Tamin yang tujuh tahun berkelana akhirnya pulang untuk mengobati keluarga tercinta. Membaca novel ini menjadi sadar bahwa keluarga harus menjadi bagian terpenting untuk tempat berkeluh kesah. Apapun diusahakan sekuat tenaga bila dikaitkan dengan kemaslahatan keluarga. Bila bukan keluarga, siapa lagi? Justru membangun komunikasi yang baik dengan keluarga menjadi dibutuhkan agar tidak memikul beban sendirian.
Spirit nasionalisme juga begitu jelas tergambar melalui karakter teman akrab Tamin, yaitu Gamik dan Pardan. Kisah heroiknya melawan Jepang dan sekutu menjadikan sebuah kebanggaan bagi desanya yang menjadi tersohor. Semangat inilah yang seharusnya diimitasi oleh para pemuda sekarang untuk mengisi kemerdekaan sebagai manifestasi menghargai para pejuang-pejuang bangsa sekalipun telah gugur dalam medan pertempuran.
Dan pada akhirnya, saya merekomendasikan kalian untuk membaca novel ini secara langsung. Demikian kalian akan dapat menikmati suguhan kata demi kata yang khas ala Toha Mohtar. Pembaca yang haus akan karya sederhana namun sarat makna dan sesuai porsi, akan terobati dengan membaca Novel Pulang.
Baca juga: Lupakan Kata Pribumi, Atlet Bulutangkis Indonesia Banyak Kalahkan Tiongkok: Kebetulan kah?
Seorang Toha dulu dikenal dengan sastrawan cerita anak. Sejak kecil, beliau sudah gemar menulis dan juga menaruh perhatian pada seni lukis. Roman Pulang ini merupakan cerita bersambung dalam majalah Ria (1952-1953) dengan nama pengarangnya Badarijah UP, nama samaran Toha Mohtar. Pada tahun 1971 beliau bersama Julius R. Siyaranamual dan Asmara Nababan mendirikan majalah Kawanku telah melahirkan sejumlah novel, sekedar menyebutkan beberapa novel karyanya selain Pulang, yaitu Daerah Tak Bertuan (1963) memperoleh Hadiah Sastra Yayasan Yamin tahun 1964, Kabut Rendah (1968), Bukan Karena Aku (1969), Jayamada (bersama Soekanto S.A., 1971) serta Antara Wilis dan Gunung Kelud (1989).
Background pendidikkan Toha Mohtar adalah kelas dua SMA (1947) di kota Kediri dan pernah tercatat sebagai murid di Artist People University di Madiun. Meskipun demikian, Toha telah membuktikan kualitas karyanya dalam majalah untuk anak, cerita untuk anak, dan novelnya sukses difilmkan. Ia juga pernah menjadi redaktur di majalah Ria (1952-1953), guru menggambar Taman Siswa (1953-1957), dan pemimpin redaksi atau penanggungjawab majalah anak-anak Kawanku.
Toha Mohtar menjadi figur yang melekat pada pecinta sastra karena berhasil membuat karya ringan, sederhana dan sesuai porsi. Tidak membosankan dan dibuat ketagihan. Membaca karyanya adalah cara terindah untuk mengobati kerinduan akan sosoknya.
Owh iya, tahukah kamu bahwa sebentar lagi ada Harbolnas? Itu lho Hari Belaja Online Nasional. Bakal banyak online shop yang memberikan diskon gila-gilaan, seperti ZALORA. Biar tidak ketinggalan, segera tandai kalendermu sekarang juga! Ingat ya 12 Desember. Jangan sampai kelewatan