Mahasiswa Ndeso ‘Terpaksa’ Solo Traveling ke Bali

Dalam sebuah penerbangan dari Bandara Juanda menuju Bandara I Gusti Ngurah Rai, pesawat yang kami tumpangi mendadak berguncang seperti ada gempa lima skala Ritcher. Gemuruh hebat dan sambaran petir terdengar keras bersahutan. Beberapa orang berteriak dengan segala doa dan pujian pada Tuhan.

Aroma kebakaran menusuk tajam. Alarm tanda darurat seketika berbunyi. Dikabarkan pesawat kami akan mendarat darurat di laut sehingga pelampung harus segera dipakai.

Aku berusaha menyelinap di antara para penumpang yang menuju pintu darurat. Semua orang berebut hendak menceburkan dirinya ke laut karena pesawat terbakar.

Dan kini giliranku. Mengembungkan pelampung, mencabut baterai pelampung, loncat dan…. terbangun.

Ah, tetesan air hujan dari atap kos yang bocor itu mengganggu mimpi indahku saja. 

***
Aku hanya seorang mahasiswa biasa yang beruntung mendapatkan liburan gratis ke Bali dengan modal blog ini. Saya berhasil memenangkan Blog Competition yang diadakan oleh Abu Tours 2016. Disaat mahasiswa lain menabung untuk bisa liburan hingga rela makan mie instan, aku justru bisa menikmati libur semester dengan bersahaja pada awal 2017.

“Rejeki anak sholeh,” kata Pak Ustadz di kampung. 

Tanggal 23-25 Januari 2017 adalah jadwal liburan gratis yang sudah ditentukan panitia. Sebulan sebelum keberangkatan, cuaca Surabaya mulai berubah. Jika biasanya suhu udara mencapai 35 derajat, namun berangsur turun menjadi 27 derajat. Kemudian hujan sudah mulai mengguyur kota pahlawan saat malam harinya. Cuaca memang sulit diprediksi.

Apakah semesta tidak merestui perjalanan ini? tanyaku pada hujan, angin dan petir.

Sejak itu bayang-bayang kecelakaan dan kematian hadir untuk mengintimidasi. Gairah liburan sudah berada pada level antiklimaks. Apalagi liburan gratis ini hanya untuk satu orang atau solo traveling. Di sana aku akan seperti seorang asing yang terpelanting menyusuri sudut-sudut Pulau Bali. Kacau, berarti tak ada teman yang jadi fotografer liburanku ini.

Kontemplasi panjang akhirnya membuahkan kepastian. Tetap berangkat menjadi sebuah keputusan yang sudah kuteken. Aku sudah siap menerima segala konsekuensi sekalipun nyawa menjadi taruhan. Jauh lebih hina menolak liburan gratis hanya karena ketidakpastian (cuaca) yang itu ada di tangan Tuhan Mahakuasa.

“Kalau memang meninggal, cacat atau terluka itu sudah takdir Tuhan, bukan karena aku ikut liburan.”

Tibalah pada hari H. Pagi yang tak begitu cerah. Masih ada genangan air warisan hujan kemarin malam. Aku sudah siap berangkat sebelum Bu Astutik–penjual sarapan dan jajanan keliling legendaris–berteriak di depan kosan.

Sebuah tas laptop dan tas ransel termasuk di dalamnya enam mie instan penuh sesak untuk perjalanan tiga hari dua malam di Pulau Dewata. Ojek online pun sudah tiba di depan kosan. Aku buru-buru menutup telepon dengan emak dan menghampiri Pak Ojek.

Perjalanan dimulai. Setibanya di bandara, aku langsung menuju lokasi check in untuk menyodorkan booking tiket pesawat dan KTP kepada petugas maskapai penerbangan. Dalam hitungan menit, aku sudah berada ruang tunggu dan berdoa semoga cuaca tidak seburuk kemarin.

Di dalam pesawat, dari jendela kursi kelas ekonomi terlihat awan hitam rata sejauh mata memandang.  Mirip awan cumulonimbus yang kulihat di google. Meskipun demikian pilot tetap memutuskan untuk terbang.

Selama perjalanan, mulut selalu komat-kamit membaca doa yang kuhafal. Aku sudah pasrah akan kehendak Tuhan Yang Mahabesar. Keringat dingin pun menetes deras.

Bersyukur, setelah sekitar 60 menit berada di udara, pesawat berhasil mendarat dengan selamat.

Welcome to Bali.

Aroma bunga khas Bali langsung tercium harum. Ada waktu dua menit untuk berselfie dengan Candi Bentar di terminal kedatangan domestik. Sudah tidak sabar untuk menikmati kasur empuk di Hotel Mercure Kuta Bali sebagai tempat singgahku selama tiga hari dua malam.

Setibanya di hotel, kutunjukkan KTP dan voucher hotel Taveloka kepada resepsionis. Sebagai pemula yang menginap di hotel bintang empat cukup kaget saat diminta uang Rp 500.000.

“Ini hanya sebagai uang jaminan saja. Saat check out akan kami dikembalikan,” kata resepsionis yang memakai baju adat Bali tersebut. 

Sebuah kartu kunci hotel seukuran KTP berhasil membuka kamarku. Tanpa terasa diri ini telah tertidur tiga jam dengan sepatu belum terlepas. Maklum, di sini tak ada atap bocor yang akan mengganggu tidur atau menghentikan mimpi indahku. Namun, hasil tidur panjang itu memunculkan pertanyaan yang mendalam.

“Mohon maaf, bisa dijelaskan mengapa panitia lomba pesan hotel ini melalui Traveloka?” tanyaku kepada panitia lomba pemberi liburan gratis ini melalui WhatsApp. 

Tiga menit kemudian centang hijau dan mendapatkan balasan. Diceritakan salah satu hal penting kenapa panitia memilih Traveloka adalah Harga Final. Artinya, aku tidak perlu mengeluarkan uang sepeser pun pada pihak hotel setelah booking. Harga yang sudah dibayar adalah harga akhir yang sudah termasuk pajak. Tentu menjadi repot jika harus terkena biaya tambahan hotel. 

Di hotel ini segala fasilitas dapat digunakan dengan bebas. Aku justru terkejut ketika menemukan fasilitas yang tidak ada di kosan yaitu bak mandi tidur. Ah, jadi teringat masa kecil. Dimana Ibu harus memasak air di tungku kemudian dituangkan ke bak plastik barulah dapat mandi. Namun, dengan bak mandi yang terbuat keramik ini aku dapat berendam air hangat dengan cepat dan praktis. Kabar baiknya, aku tak sampai tertidur di bak itu.

Pada detail pesanan hotel juga tertera include breakfast. Artinya, mie instan yang dibawa tidak perlu dimasak di hotel. Menu sarapan telah disediakan pihak hotel di lantai empat. Di sana bebas memilih menu makanan yang jarang kutemukan di warung langganan. Alih-alih memilih makanan khas lidah ndeso, aku malah memberanikan diri mencapur makanan ala-ala Jepang dengan sesuka hati. Memang tabiat ndeso ini sulit berubah sekalipun sudah setahun di Surabaya.

A post shared by khoirun_nizam (@nizambl) on

Bagaimana bisa tiga buah sushi ditambah nasi, kentang, ayam goreng dan telur berada dalam satu piring. Jangan! Jangan tanya seperti apa rasanya. Tak penting rasa yang penting kenyang, itulah prinsip anak kos. Barangkali ini menjadi momen ‘perbaikan gizi’ yang paling ditunggu seluruh anak kos di Indonesia.

Ya memang fasilitas yang diberikan harus dimaksimalkan. Kapan lagi bisa merasakan masakan ala hotel bintang empat ini. Menunggu menang lomba lagi? sepertinya, iya. 

Setidaknya aku berhasil menjejakkan kaki pada empat destinasi selama di Bali: Pantai Kuta (depan hotel), Agung Bali (belanja), Garuda Wisnu Kencana (GWK) dan Uluwatu Temple. Dan Semuanya cerita yang berbeda.

Sajian pertunjukan seni di Garuda Wisnu Kencana


Garuda Wisnu Kencana (GWK) menjadi pembuka penjelajahan di Pulau Dewata. Mengenakan kaos hitam pemberian sponsor ditambah jeans lengan panjang agar kulit sawo matang ini tidak semakin menghitam. Udeng Bali juga kukenakan agar lebih dekat dengan penduduk setempat. Pada Garuda Wisnu Kencana, aku banyak belajar tentang arti kehidupan yaitu membaur dengan penduduk lokal dengan menebar keramahan.

Uluwatu Temple ini menjadi destinasi paling jauh karena berada di ujung barat daya pulau Bali. Setiap pengunjung diharuskan memakai kain sarung dan selendang berwarna kuning (salempot) yang menyimbolkan penghormatan terhadap kesucian pura, serta mengandung makna sebagai pengikat niat-niat buruk dalam jiwa. Aku banyak menemukan ketenangan dan toleransi antarumat beragama yang tidak kutemukan di tempat lain.


Pantai Kuta yang berada persis di depan hotel menjadi destinasi paling singkat kusinggahi. Masih sama seperti tujuh tahun silam saat pertama kali ke Bali. Bedanya, sekarang aku lebih suka menghabiskan waktu bersama pasir putih dan menatap sinis sampah di bibir pantai.

“Semoga tabiat manusia terhadap alam dan lingkungan semakin baik, karena Tuhan  telah menitipkan alam pada manusia,” doaku dikala senja.

Rintik hujan membuatku harus segera kembali ke hotel. Bukan untuk tidur karena harus bersiap berangkat ke Agung Bali sebelum larut malam. Butuh waktu empat jam untuk memilih aneka makanan dan souvenir khas Bali. Lucunya, aku hampir tidak bisa kembali ke hotel karena sulitnya mencari ojek. Beruntung, pada pukul 01:12 WITA sudah mulai bisa tidur nyenyak dengan televisi menyala sepanjang malam.

Pembaca harap maklum jika hanya empat destinasi tercapai dari sepuluh daftar destinasi direncanakan. Godaan solo traveling memang sulit ditaklukkan.

Apa karena hotel punya gravitasi yang sangat tinggi? Bisa jadi, iya. Inilah candu bagi orang ndeso menginap di hotel mewah.

Tanpa terasa jatah menginap di hotel selesai. Saatnya check out dengan membawa sebuah tas tambahan berisi oleh-oleh khas Bali. Pada bagian resepsionis, kukembalikan kartu kunci hotel. Pihak resepsionis pun juga mengembalikan uang jaminanku secara utuh seperti saat check in.

Jadi, yang dikembalikan sungguh uang Rp. 500.000 tanpa berkurang sepeserpunPihak hotel justru memberikan transportasi gratis menuju bandara saat kepulangan.

Memang ya, harga final yang diberikan Traveloka apa adanya. Tidak ada biaya tambahan di akhir setelah booking. Harga yang diteken adalah harga jujur tanpa harga tersembunyi.
#JadiBisa dengan Traveloka!

Itulah cerita perjalanan seorang mahasiswa ndeso yang ‘terpaksa’ solo traveling di Bali. Aku menjadi sepakat bahwa solo traveling hanya bagi mereka yang bermental baja. Bukan tentang seberapa jauh lokasi, tapi bagaimana mengalahkan ketakutan dalam diri. 
Tulisan lainnya :
error: Mohon maaf, copy paste tidak diperkenankan !!