Aroma kebakaran menusuk tajam. Alarm tanda darurat seketika berbunyi. Dikabarkan pesawat kami akan mendarat darurat di laut sehingga pelampung harus segera dipakai.
Aku berusaha menyelinap di antara para penumpang yang menuju pintu darurat. Semua orang berebut hendak menceburkan dirinya ke laut karena pesawat terbakar.
Dan kini giliranku. Mengembungkan pelampung, mencabut baterai pelampung, loncat dan…. terbangun.
Ah, tetesan air hujan dari atap kos yang bocor itu mengganggu mimpi indahku saja.
“Rejeki anak sholeh,” kata Pak Ustadz di kampung.
Apakah semesta tidak merestui perjalanan ini? tanyaku pada hujan, angin dan petir.
“Kalau memang meninggal, cacat atau terluka itu sudah takdir Tuhan, bukan karena aku ikut liburan.”
Sebuah tas laptop dan tas ransel termasuk di dalamnya enam mie instan penuh sesak untuk perjalanan tiga hari dua malam di Pulau Dewata. Ojek online pun sudah tiba di depan kosan. Aku buru-buru menutup telepon dengan emak dan menghampiri Pak Ojek.
Perjalanan dimulai. Setibanya di bandara, aku langsung menuju lokasi check in untuk menyodorkan booking tiket pesawat dan KTP kepada petugas maskapai penerbangan. Dalam hitungan menit, aku sudah berada ruang tunggu dan berdoa semoga cuaca tidak seburuk kemarin.
Selama perjalanan, mulut selalu komat-kamit membaca doa yang kuhafal. Aku sudah pasrah akan kehendak Tuhan Yang Mahabesar. Keringat dingin pun menetes deras.
Bersyukur, setelah sekitar 60 menit berada di udara, pesawat berhasil mendarat dengan selamat.
Welcome to Bali.
Aroma bunga khas Bali langsung tercium harum. Ada waktu dua menit untuk berselfie dengan Candi Bentar di terminal kedatangan domestik. Sudah tidak sabar untuk menikmati kasur empuk di Hotel Mercure Kuta Bali sebagai tempat singgahku selama tiga hari dua malam.
Setibanya di hotel, kutunjukkan KTP dan voucher hotel Taveloka kepada resepsionis. Sebagai pemula yang menginap di hotel bintang empat cukup kaget saat diminta uang Rp 500.000.
“Ini hanya sebagai uang jaminan saja. Saat check out akan kami dikembalikan,” kata resepsionis yang memakai baju adat Bali tersebut.
“Mohon maaf, bisa dijelaskan mengapa panitia lomba pesan hotel ini melalui Traveloka?” tanyaku kepada panitia lomba pemberi liburan gratis ini melalui WhatsApp.
Di hotel ini segala fasilitas dapat digunakan dengan bebas. Aku justru terkejut ketika menemukan fasilitas yang tidak ada di kosan yaitu bak mandi tidur. Ah, jadi teringat masa kecil. Dimana Ibu harus memasak air di tungku kemudian dituangkan ke bak plastik barulah dapat mandi. Namun, dengan bak mandi yang terbuat keramik ini aku dapat berendam air hangat dengan cepat dan praktis. Kabar baiknya, aku tak sampai tertidur di bak itu.
Pada detail pesanan hotel juga tertera include breakfast. Artinya, mie instan yang dibawa tidak perlu dimasak di hotel. Menu sarapan telah disediakan pihak hotel di lantai empat. Di sana bebas memilih menu makanan yang jarang kutemukan di warung langganan. Alih-alih memilih makanan khas lidah ndeso, aku malah memberanikan diri mencapur makanan ala-ala Jepang dengan sesuka hati. Memang tabiat ndeso ini sulit berubah sekalipun sudah setahun di Surabaya.
Ya memang fasilitas yang diberikan harus dimaksimalkan. Kapan lagi bisa merasakan masakan ala hotel bintang empat ini. Menunggu menang lomba lagi? sepertinya, iya.
Sajian pertunjukan seni di Garuda Wisnu Kencana |
Garuda Wisnu Kencana (GWK) menjadi pembuka penjelajahan di Pulau Dewata. Mengenakan kaos hitam pemberian sponsor ditambah jeans lengan panjang agar kulit sawo matang ini tidak semakin menghitam. Udeng Bali juga kukenakan agar lebih dekat dengan penduduk setempat. Pada Garuda Wisnu Kencana, aku banyak belajar tentang arti kehidupan yaitu membaur dengan penduduk lokal dengan menebar keramahan.
Uluwatu Temple ini menjadi destinasi paling jauh karena berada di ujung barat daya pulau Bali. Setiap pengunjung diharuskan memakai kain sarung dan selendang berwarna kuning (salempot) yang menyimbolkan penghormatan terhadap kesucian pura, serta mengandung makna sebagai pengikat niat-niat buruk dalam jiwa. Aku banyak menemukan ketenangan dan toleransi antarumat beragama yang tidak kutemukan di tempat lain.
Pantai Kuta yang berada persis di depan hotel menjadi destinasi paling singkat kusinggahi. Masih sama seperti tujuh tahun silam saat pertama kali ke Bali. Bedanya, sekarang aku lebih suka menghabiskan waktu bersama pasir putih dan menatap sinis sampah di bibir pantai.
“Semoga tabiat manusia terhadap alam dan lingkungan semakin baik, karena Tuhan telah menitipkan alam pada manusia,” doaku dikala senja.
Rintik hujan membuatku harus segera kembali ke hotel. Bukan untuk tidur karena harus bersiap berangkat ke Agung Bali sebelum larut malam. Butuh waktu empat jam untuk memilih aneka makanan dan souvenir khas Bali. Lucunya, aku hampir tidak bisa kembali ke hotel karena sulitnya mencari ojek. Beruntung, pada pukul 01:12 WITA sudah mulai bisa tidur nyenyak dengan televisi menyala sepanjang malam.
Pembaca harap maklum jika hanya empat destinasi tercapai dari sepuluh daftar destinasi direncanakan. Godaan solo traveling memang sulit ditaklukkan.
Apa karena hotel punya gravitasi yang sangat tinggi? Bisa jadi, iya. Inilah candu bagi orang ndeso menginap di hotel mewah.
Jadi, yang dikembalikan sungguh uang Rp. 500.000 tanpa berkurang sepeserpun. Pihak hotel justru memberikan transportasi gratis menuju bandara saat kepulangan.
Memang ya, harga final yang diberikan Traveloka apa adanya. Tidak ada biaya tambahan di akhir setelah booking. Harga yang diteken adalah harga jujur tanpa harga tersembunyi.
#JadiBisa dengan Traveloka!