Habis jatuh tertimpa tangga. Begitulah peribahasa yang menggambarkan nasib Kusniati. Perempuan asal Depok Timur itu divonis dokter mengalami penurunan ginjal dan mengharuskan untuk rutin cuci darah. Tak lama setelah vonis itu, ia ditinggal suami pergi begitu saja. Harta bendanya pun terkuras habis untuk terapi cuci darah selama lebih dari 14 tahun.
Itu baru wakaf uang, belum wakaf benda tidak bergerak seperti tanah dan bangunan. Menurut data yang tercatat di Badan Wakaf Indonesia (BWI) tanah wakaf di Indonesia mencapai 420 ribu hektare (ha). Potensi kapitaliasinya mencapai Rp 2.000 triliun. Amat disayangkan jika belum dikelola secara serius. Sudah saatnya pemanfaatan wakaf dilakukan agar lebih berdaya sehingga tak hanya berbangga dengan besarnya aset wakaf tetapi mampu merasakan manfaat nyata dari pemanfaatan harta benda wakaf.
Jika mengacu pada UU No.41/2004, pemanfaatan wakaf sesungguhnya bukan hanya digunakan ihwal keagamaan saja. Wakaf hari ini tidak harus untuk masjid atau kuburan tetapi juga bisa menjadi aset wakaf yang produktif. Wakaf dapat dikelola menjadi oksigen dalam pembangunan nasional seperti rumah sakit, pabrik, jalan tol dan sebagainya.
Tidak dapat dipungkiri jika pengelolaan wakaf Indonesia, terutama wakaf tanah, masih didominasi oleh 3M (masjid, madrasah dan makam). Memang peruntukan wakaf bisa untuk ketiga hal tersebut. Namun, Bimas Islam Kementerian Agama menyebut masih sedikit sekali pemanfaatan wakaf untuk sektor produktif. Padahal harta benda wakaf yang dikelola dapat memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat.
Ada tantangan wakaf yang dihadapi salah satunya menyoal literasi wakaf yang belum sepenuhnya dipahami. Memberikan edukasi wakaf memang tak semudah membalikkan telapak tangan. Butuh proses berkelanjutan dan sinergi dari berbagai pihak mulai dari pemerintah, akademisi, praktisi, nazhir serta masyarakat. Perlahan namun pasti, literasi wakaf akan memacu individu untuk berkenan mewakafkan sebagian harta bendanya.
Jika saat ini ada sekitar 100 juta penduduk Muslim di Indonesia dengan ekonomi menengah, bayangkan jika masing-masing orang menunaikan wakaf minimal Rp 10.000 saja per bulan. Maka dalam setahun bisa mencapai Rp 12 triliun. Dengan nominal wakaf uang seharga kopi kekinian saja akan bisa terkumpul dana yang besar jika tiap individu sadar akan dahsyatnya wakaf.
Literasi wakaf memang harus segera dimulai. Selain melalui seminar dan turun ke masyarakat, literasi wakaf perlu dilakukan menggunakan kanal media sosial baik Facebook, Twitter, Instagram maupun Youtube. Materi yang disampaikan sebaiknya dikemas dengan kekinian, mudah dipahami dan tidak bertele-tele.
Abu Tsyar meriwayatkan dari Imam as-Syafi’i tentang kebolehan wakaf dinar dan dirham (uang)
Mudah sekali, bukan? Kini, berwakaf menjadi mudah hanya dengan genggaman. Tidak ada alasan susah atau ribet dalam berwakaf.
Milenial harus menjadi agen penggerak wakaf. Jadikan wakaf ini sebagai life style sehingga lebih peduli dan mau berkontribusi untuk kepentingan umat.
Imam AS-Suyuthi pernah mengatakan bahwa “amalan yang manfaatnya untuk orang banyak lebih utama daripada yang manfaatnya untuk segelitir saja”.
Yuk, wakaf sekarang. Raih pahala mengalir kencang.