Menjaga cagar budaya agar dinikmati lintas generasi tak semudah membalikkan telapak tangan. Meski begitu, bukan hal yang mustahil untuk dilakukan. Cagar budaya lebih dari sekadar bangunan. Lebih dari itu, cagar budaya punya arti penting dalam memupuk nasionalisme dan memperkokoh identitas bangsa di tengah perubahan zaman. Hanya ada dua pilihan: rawat atau musnah.
Model rumah-rumah yang ada di Lawang Seketeng ini terbilang model kuno. Diantara rumah lawas yang terawat, ada Rumah Puing yang hampir rubuh. Dindingnya tak lagi sempurna. Rangka batu bata begitu kentara. Sepertinya tak ada renovasi atau perawatan yang signikan pada Rumah Puing. Hanya pada bagian pintu kayu yang terlihat seperti dicat kembali. Konon, rumah ini telah berdiri sejak 1930-an.
Jujur, saya suka dengan spot foto di Rumah Puing ini. Berdiri diantara dua pilar tiang dipadukan dengan background pintu akan menghasilkan foto yang simetris, estetik dan klasik. Jika Anda datang ke Lawang Seketeng, saya rekomendasikan untuk mengambil foto di sini.
Dari sumber yang saya baca, Rumah Puing ini dulunya merupakan tempat tinggal Mbah Besari, salah seorang yang punya andil dalam perobekan bendera di Hotel Yamato (Majapahit).
Tak jauh dari Rumah Puing terdapat Rumah Jengki. Rumah Jengki menggunakan rancangan arsitektur era 1930-an. Keaslian dari bangunan masih dipertahankan meski dihuni oleh warga setempat. Bahkan, Rumah Jengki ini pernah dijadikan tempat untuk shooting film Terbang: Menembus Langit pada tahun 2018 yang diperankan oleh Laura Basuki dan Dion Wiyoko.
Keluarga di Rumah Jengki masih menyimpan lumpang kuningan (tahun 1861), alu, pipisan dan setrika baju yang merupakan peninggalan leluhur dan keluarga tersebut. Benda-benda tersebut dipamerkan ke publik saat pembukaan Heritage Walk of Lawang Seketeng. Di rumah ini pula terdapat sumur yang usianya hampir 100 tahun. Airnya sangat jernih dan bisa langsung minum.
Saya kemudian melanjutkan perjalanan selagi matahari belum terlalu terik. Jika Anda belok kanan , maka akan masuk Gang Ponten (Gang VI). Saya lihat ada Rumah Kayu yang saat itu cukup ramai dengan wisatawan.
Sesuai namanya, Rumah Kayu ini memang dibuat dari kayu. Bagian menariknya terdapat pada atap seng yang menyimpan bekas tembakan dari pesawat tempur. Rumah ini didirikan sekitar 1930-an dan bentuk bangunan tetap dipertahankan hingga sekarang.
Selanjutnya, masih berada di Gang Ponten, langkah kaki saya menuju Langgar Dukur Kayu. Sebuah tempat ibadah yang juga sekaligus tempat berkumpul pada zaman perjuangan. Diperkiraan dibangun mulai Januari 1893 berdasarkan tulisan huruf Arab pegon dengan kalimat berbahasa Jawa, “awitipun jumeneng puniko langgar tahun 1893 sasi setunggal”.
Langgar Dukur Kayu baru saja diresmikan sebagai bangunan Cagar Budaya Indonesia oleh Pemerintah Kota Surabaya pada bulan Agustus lalu. Berdasarkan UU Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya menyebutkan jika cagar budaya merupakan warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.
Status “cagar budaya” membuat adanya perlindungan atau perawatan khusus agar bangunan yang menjadi saksi bisu sejarah tidak musnah. Pemerintah mengalokasikan anggaran tertentu untuk perawatan cagar budaya. Perlu diketahui jika biaya perawatan bangunan cagar budaya butuh biaya tidak sedikit. Sehingga ketika sudah ditetapkan menjadi cagar budaya akan menjadi tanggungan pemerintah.
Tampilan luar Langgar Dukur Kayu terbilang unik karena menggunakan dinding kayu sisik yang masih dipertahankan hingga sekarang. Pernak-pernik tempo dulu masih melekat seperti daun pintu dengan engsel kuno, grendel kuno, prasasti mimbar dan kentongan. Di dalam Langgar Dukur Kayu ada jadwal sholat yang ditulis oleh Syekh Ulama Besar dari Pasuruan, rumus hitungan falakh dan tombak (tongkat mimbar).
Satu lagi, Langgar Dukur Kayu menyimpan Alquran kuno bersampul kulit dan ditulis tangan. Pada tiap halamannya tertera watermark Kerajaan Belanda. Watermark akan terlihat ketika disorot oleh cahaya.
Langgar Dukur Kayu menjadi saksi biru masa perjuangan. Di ruangan bagian bawah (sekarang aula) Langgar Dukur digunakan oleh tokoh pergerakan dan para ulama berkumpul. Sedangkan di lantai duanya dipakai sebagai tempat ibadah. Beberapa literatur menyebut jika Bung Karno dan Bung Tomo pernah mengaji di Langgar Dukur Kayu bersama gurunya, Mbah Pitono.
Meski usia bangunan diperkirakan sudah 126 tahun, Langgar Dukur Kayu masih aktif digunakan untuk salat lima waktu bagi jamaah laki-laki.
Konsep wisata heritage yang diusung Kampung Lawang Seketeng tak semata melestarikan cagar budaya. Dari segi ekonomi jelas ada peluang yang menggiurkan berkat kedatangan wisatawan baik lokal maupun mancanegara. Cukup masuk akal jika perbaikan demi perbaikan fasilitas terus dilakukan secara bertahap agar semakin nyaman bagi wisatawan.
Yang terbaru, masyarakat disediakan semacam lapak atau gerobak yang berada persis di depan Langgar Dukur Kayu. Di sana terdapat beberapa lapak yang menjual aneka kuliner. Kuliner unggulannya rujak topak dan sate manggul. Penjualnya berasal dari masyarakat sekitar.
Wisata dan kuliner ibarat dua sisi koin yang tidak bisa dipisahkan. Wisatawan yang lelah mengelilingi Lawang Seketeng dapat mampir dan menikmati kuliner masyarakat setempat sekaligus memberdayakan ekonomi masyarakat. Ada penghasilan tambahan dari wisatawan yang datang. Ya meskipun belum terlalu ramai, langkah melibatkan masyarakat dalam pariwisata layak diacungi jempol.
Melestarikan cagar budaya dengan konsep wisata memang susah susah gampang. Pada praktiknya perlu penyempurnaan agar semakin menarik wisatawan datang berkunjung ke Lawang Seketeng. Di sisi lain harus tetap mengupayakan agar cagar budaya tetap terawat.
Saya pribadi mengapresiasi adanya plakat atau banner yang dipasang didekat cagar budaya sebagai sumber informasi singkat. Kedepan, warga atau anak-anak setempat perlu dilibatkan untuk menjadi pemandu wisata. Kultur masyarakat perkampungan yang ramah dapat menjadi modal berharga. Dengan begitu, wisatawan tak akan kebingungan dalam mencari lokasi cagar budaya yang tersebar di tiap gang Lawang Seketeng.
Model-model promosi perlu mengikuti perkembangan zaman. Sejalan dengan era digital, maka Kampung Lawang Seketeng perlu menggagas website atau media sosial sebagai media publikasi dan branding. Keberadaan website juga memungkinkan sebagai sarana reservasi bagi wisatawan jika berniat berkunjung ke Lawang Seketeng.
Kita, sebagai wisatawan, juga berperan dalam merawat cagar budaya melalui beragam cara. Yang paling penting adalah dengan tidak mencoret, merusak, atau mengambil benda-benda cagar budaya. Biarkan cagar budaya tersebut tetap pada bentuk asli hingga dapat disaksikan lintas generasi.
Merawat cagar budaya termasuk pewarisan nilai-nilai histori untuk mengelola masa depan. Itulah kenapa perlu partisipasi semua pihak diperlukan untuk bersama menjaga cagar budaya. Kolaborasi dari pemerintah, masyarakat setempat, komunitas dan swasta sangat diharapkan.
Kalau bukan kita, siapa lagi yang merawat cagar budaya? Generasi muda tak boleh acuh dengan cagar budaya. Cagar Budaya lebih dari sekadar bangunan. Ada sisi sejarah dan spirit perjuangan yang patut dijadikan teladan.
Dari Kampung Lawang Seketeng saya belajar arti wisata berbasis cagar budaya di wilayah perkampungan. Tentang keramahan, tentang semangat perjuangan dan tentang sejarah. Sungguh, Kampung Lawang Seketeng ini punya potensi besar untuk menjadi destinasi wisata heritage unggulan di Surabaya.
Semoga “Heritage Walk of Lawang Seketeng” menjadi inspirasi dalam pemanfaatan cagar budaya untuk destinasi wisata. Cagar budaya terawat, ekonomi masyarakat bergeliat.
Apakah Anda punya cerita lain tentang cagar budaya Indonesia? Yuk, tulis dan ikut Kompetisi “Blog Cagar Budaya Indonesia: Rawat atau Musnah!“. Dengan menulis melalui blog, Anda telah turut berkontribusi dalam mempromosikan cagar budaya Indonesia.