Full Day School dan Ajang Perlombaan Karya Tulis Ilmiah

Regulasi tentang kegiatan belajar mengajar selama lima hari (senin-jumat) telah berimbas ke berbagai aspek. Dikutip dari Kompas,  full day school ini bukan berarti para siswa belajar selama sehari penuh di sekolah. Program ini memastikan siswa dapat mengikuti kegiatan-kegiatan penanaman pendidikan karakter, misalnya mengikuti kegiatan ekstrakurikuler. Ya, ekstrakurikuler!

Foto: Kompasiana.com
Salah satu ekstrakurikuler yang nampaknya akan menurun performanya adalah kelompok ilmiah remaja (KIR). Ekskul yang lebih menitikberatkan pada penelitian lapangan tersebut sedikit terborgol dengan adanya full day school. Kenapa hal itu bisa terjadi? Yang pasti untuk penelitian sosial budaya dan humaniora tak cukup hanya dijalankan di dalam kelas. Butuh observasi atau penelitian langsung ke lapangan.
Meskipun demikian, ada sebuah kebanggaan bagi saya sendiri untuk dunia perlombaan ilmiah saat ini. Lomba-lomba karya tulis ilmiah saat ini begitu menjamur dan semakin banyak pihak-pihak yang menggelar lomba. Hadiah yang ditawarkan pun begitu menggoda, tak hanya menawarkan uang tunai juga ada yang berhadiah smartphone hingga liburan ke luar negeri. Mupeng gak tuh!
Kendati belum pernah menjadi panitia lomba karya tulis ilmiah, namun saya suka menerawang “dapur” panitia. Akhir-akhir ini banyak panitia lomba seolah kehilangan pesertanya. Hal ini tercermin dengan kebijakan pengunduran lomba. Deadline pendaftaran diundur, pengumpulan karya diundur dan lain sebagainya. Seolah menginformasikan bahwa “mohon bersabar, pesertanya masih sedikit,”. Ah, semoga tebakkan saya salah.
Disamping itu, saya sepakat kebijakan full day school dapat membuat siswa terhindar dari pergaulan bebas setelah pulang sekolah. Namun untuk ekskul KIR sepertinya harus gigit jari. Jika dulu saya bisa melakukan penelitian / observasi setelah pulang sekolah, kini mustahil rasanya. Pasalnya, para siswa itu pulang bersamaan dengan menghilangnya senja. 
Boleh jadi, sabtu minggu menjadi klimaks bagi mereka menyusun paper, observasi dan wawancara. Namun, masalah narasumber sulit untuk diprediksi waktunya. Jika narsum sekelas dinas hanya bisa ditemui hari senin pagi atau rabu siang, mau bilang apa coba ? Beruntunglah bagi mereka yang bisa izin ke guru piket dengan konsekuensi ketinggalan materi di kelas. 
Sekali lagi, saya berharap fullday school tak memadamkan sikap ilmiah para siswa, terlebih yang sosial budaya humaniora menuntut penelitian lapangan. 
Saya sangat bersyukur bisa dengan mengikuti berbagai lomba kala itu. Pulang sekolah dapat dengan tenang menulis paper dan wawancara. Apalagi kalau menang, dapat piala, sertifikat dan uang, siapa yang menolak? 
Diakhir tulisan, saya memiliki saran bagi kalian yang ingin eksis dalam penulisan ilmiah. Jika sekiranya waktu penelitian lapangan kurang karena adanya fullday school maka bisa diakali dengan ikut lomba yang ringan lainnya namun tetap ilmiah. Barangkali essay, blogging atau makalah kewirausahaan bisa jadi alternatif pemuas nafsu kritis kalian. 
Carilah pengalaman selagi fisik masih prima dan fikiran masih jernih. Asah kepekaan terhadap sosial dengan menggali setiap tema yang diberikan. Tulislah dengan sepenuh hati untuk. Memikat dewan juri. Kata Dov Seidman, “What comes from the heart enter the heart, what doesn’t come from your heart will never enter someone else’s heart.” Apa yang datang dari hati akan memasuki hati. Apa yang tidak datang dari hati tak akan pernah memasuki hati orang lain.

Semoga kebijakan full day school tak menghilangkan kuriositas para generasi milineal Indonesia!

error: Mohon maaf, copy paste tidak diperkenankan !!