Syarikat Islam, Mewujudkan Kemandirian Umat Melalui Filantropi Islam

24 Juni 2017, sehari sebelum Lebaran, saya menemui banyak orang berbondong-bondong membawa berasnya ke masjid. Sudah pasti, apalagi kalau bukan untuk berzakat fitrah. Di desa saya, zakat dikumpulkan oleh masjid takmir (amil zakat) yang kemudian akan diberikan kepada delapan asnaf (orang yang berhak menerima zakat). Proses penimbangannya memakan cukup waktu lama karena jumlah muzaki yang terus datang. Sayangnya, geliat dan semangat filantropi Islam kurang menggema di hari-hari lainnya. Menyedihkan!
Kemiskinan adalah masalah klasik yang terus melekat pada bangsa ini. Memang butuh perhatian serius, sebab kemiskinan juga erat kaitannya dengan rendahnya pendidikan, kesehatan, kejahatan dan lain sebagainya. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada Maret 2017 jumlah penduduk miskin, yakni penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di lndonesia mencapai 27,77 juta orang (10,64 persen dari jumlah total penduduk). Menurut Kepala BPS Suhariyanto, angka tersebut bertambah 6,90 ribu orang dibandingkan dengan kondisi September 2016 yang sebesar 27,76 juta orang (10,70 persen). 
Apalagi sangat disayangkan jika yang berada pada tataran ekonomi menangah kebawah adalah umat Islam. Terlebih kefakiran itu mendekati kekufuran. Maka perlu mendorong orang keluar dari kemiskinan dengan tidak hanya bergantung pada pemerintah, namun partisipasi aktif seluruh masyarakat.
Dengan jumlah umat Islam 85 persen, maka zakat menjadi salah satu instrumen filantropi Islam yang memiliki potensi besar dalam pengentasan kemiskinan dan kemandirian umat. Meski Indonesia bukan negara Islam, namun karena mayoritas umat Islam tentu menjadi potensi menggembirakan dalam mendukung eksistensi filantropi Islam.

Berdasarkan kajian Baznas, potensi zakat Indonesia mencapai 217 triliun per tahun. Sementara itu, semua amil zakat yang ada hanya bisa mengumpulkan zakat antara 2,7 sampai 3 triliun rupiah setiap tahun (Rosyid, 2015). Apalagi, sebagian besar zakat yang terkumpul hanya zakat fitrah, sedangkan zakat profesi, perdagangan dan sebagainya belum tumbuh kesadaran di masyarakat. Selain zakat, juga masih ada sedekah, infaq, dan wakaf yang juga belum maksimal.
Padahal Allah SWT telah berjanji kepada orang-orang yang menafkahkan hartanya dijalan Allah sebagaimana termaktub dalam Al Quran Surat Al Baqoroh ayat 261 yang artinya: “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.”
Masalah lain yang muncul adalah dalam penyaluran dana filantropi Islam. Masih banyak model pemberian yang bersifat karitatif (tradisional), konsumtif dan berjangka pendek. Zakat sejatinya tidak hanya untuk tujuan konsumtif saja. Sebagaimana yang diungkapkan Ali dalam buku “Sistem Ekonomi Islam: Zakat dan Wakaf”, pendayagunaan zakat harus memenuhi fungsinya sebagai lembaga ibadah sekaligus sarana untuk menanggulangi berbagai masalah sosial.
Dari uraian tersebut, menyiratkan akan pemanfaatan zakat dan instrumen filantropi Islam lainnya secara sustainable (berkelanjutan). Artinya, ada semacam usaha menuju produktif yang tidak terbatas pada konsumtif. Bukan untuk menciptakan ketergantungan, tapi butuh pemberdayaan yang berkelanjutan. Alih-alih mengurangi kemiskinan bukan untuk melestarikan kemiskinan.

Berbicara tentang zakat dan donasi, saya mengapresiasi kehadiran Syarikat Islam yang mulai menaruh perhatian pada kemandirian umat. Tidak mau masuk ranah politik praktis, tapi langkahnya justru ingin menyebar virus humanis. Seolah ingin menyerukan, seorang muslim dengan muslim lainnya adalah saudara dan bahkan kita harus mampu menjadi saudara sampai ke Surga.

Dalam sejarahnya, Syarikat Islam (disingkat SI) sebelumnya bernama Sarekat Dagang Islam (disingkat SDI) didirikan oleh Haji Samanhudi pada tanggal 16 Oktober 1905. Ini menjadi organisasi pertama yang lahir di Indonesia. Selanjutnya, Tjokroaminoto terpilih sebagai pemimpin, dan mengganti nama Sarekat Dagang Islam (SDI) menjadi Sarekat Islam (SI). Tujuan SI adalah membangun persaudaraan, persahabatan dan tolong-menolong di antara muslim dan mengembangkan perekonomian rakyat.
Melihat Indonesia saat ini, ada kegembiraan pada masyarakat karena telah timbul kepercayaan pada model penggalangan dana secara online. Sudah tersemai pola pikir untuk tolong menolong sekalipun tanpa bertatap muka secara langsung. Terbukti kampanye penggalangan dana online mulai dari pembangunan rumah ibadah sampai Rohingnya mendapat atensi besar dari masyarakat.

Pada era digital ini, adalah tepat bagi Syarikat Islam untuk meluncurkan kemudahan dalam zakat dan donasi yang bernama indonesiaberzakat.org. Munculnya Indonesia Berzakat seperti membawa kesejukan ditengah tidak maksimalnya penggalangan filantropi Islam, seperti zakat, sedekah atau infaq. Di bawah naungan Syarikat Islam, lembaga zakat amil ini berusaha memfasilitasi masyarakat dalam menyalurkan zakat dan donasi secara mudah dan luas. Harapannya semakin banyak zakat dan donasi yang terkumpul berkaca pada potensinya yang sangat besar.

Tentang zakat online, bagi orang awam barangkali kurang begitu banyak didengar. Namun, fiqih kontemporer telah membahasnya secara gamblang yang pada intinya memperbolehkan. Indonesia Berzakat sendiri juga telah menyediakan fitur kalkulator zakat pendapatan yang bisa digunakan untuk menghitung nominal zakat yang harus dikeluarkan.
Dana yang terkumpul akan diberikan kepada orang yang berhak menerimanya. Jika itu zakat maka harus diberikan kepada mustahik zakat yaitu delapan asnaf. Namun, jika itu berupa donasi, infaq, sedekah bisa diberikan kepada siapa saja yang membutuhkan. Dalam hal ini bisa dalam bentuk modal usaha atau bantuan pendidikan.

Menariknya kita tidak hanya bisa menyumbang, tapi juga bisa melakukan kampanye donasi untuk orang atau aksi sosial disekitar kita. Saya punya impian membuat kampanye untuk penyandang disabilitas. Hal ini berasal dari keprihatinan pada nasib mereka yang umumnya berada pada garis kemiskinan dan pengangguran. Berdasarkan data Supas (2015) jumlah penyandang disabilitas yang berusia 10 tahun ke atas di Indonesia cukup besar mencapai 17,79 juta orang (8,56% dari jumlah penduduk).
Mereka yang kurang mendapat perhatian harus diberdayakan. Bukan dijauhi, tugas kita sebagai orang normal adalah membuat mereka mandiri dan produktif. Hal ini dapat ditempuh dengan menyediakan modal usaha sesuai dengan kapasitas dan keahliannya. Sebut saja, mereka yang tunarungu diberikan modal untuk bisnis rumah makan atau bisnis katering. Nantinya, dalam komunikasi menggunakan bahasa isyarat yang ini justru menjadi daya tarik tersendiri. Menarik sekali, bukan?

Hal ini telah dilakukan oleh Dissa Syakina Ahdanisa dengan kafe Deaf Fingertalk yang berhasil membuat senyuman di wajah saudara kita para penyandang disabilitas. Sayangnya, untuk memberdayakan lebih banyak penyandang disabilitas membutuhkan lebih banyak modal lagi. Dan melihat begitu potensialnya filantropi Islam, rasanya menjadi peluang yang baik. Ini ibarat tidak untuk memberi ikan, namun seperti memberi kail. Bukan memberikan secara uang konsumtif namun modal usaha yang produktif.
Selain penyandang disabilitas, masyarakat lain yang juga berada dalam garis kemiskinan membutuhkan manfaat zakat dan donasi yang terkumpul. Sekali lagi, penting untuk menciptakan program mandiri yang jangka panjang untuk menghindari ketergantungan. Syarikat Islam harus selangkah lebih maju, bukan sekedar mengumpulkan tapi memanfaatkan.
Syarikat Islam menjadi gerakan masif dan diharapkan sebagai organisasi yang mempelopori dan meningkatkan tatanan ekonomi masyarakat. Program yang dibuat harus disesuaikan dengan karakteristik masyarakat dan kearifan lokal suatu daerah. Tentu saja setiap wilayah atau lokasi memiliki kebutuhan yang berbeda.
Misalnya untuk masyarakat pesisir, yang dibutuhkan adalah bantuan alat tangkap yang ramah lingkungan dan efektif. Berbeda dengan peternak sapi di Banyuwangi misalnya, butuh bantuan dana lebih untuk penggemukan sapi sehingga berkualitas dan harga tinggi. Dan masih banyak lagi program produktif kreatif yang bisa diimplementasikan yang bersumber dari zakat dan donasi sebagai solusi kemandirian.
Bukan hanya fokus untuk membantu modal usaha, pendampingan juga mutlak diperlukan. Sosialisasi, pelatihan dan evaluasi sangat penting untuk mendukung keberhasilan program. Kerjasama baik dengan para stakeholders (masyarakat, masyarakat, akademisi, dan pemerintah) akan menciptakan pola komunikasi yang baik.

Tidak hanya dalam bidang ekonomi, Syarikat Islam juga perlu memperkuat pendidikan khususnya pada level sekolah menegah kejuruan dengan pendidikan vokasi berbasis sosiodemografi. Langkah ini akan mempercepat dalam membangun usaha dan mewujudkan kekaryaan. Gerakan-gerakan mengajar terus dimasifkan untuk memeratakan pendidikan sebagai langkah mengurangi kemiskinan.

Dengan demikian, harapannya desa akan muncul sebagai pusat pertumbuhan. Pertumbuhan ekonomi tidak lagi berkutat pada perkotaan namun juga pedesaan. Mengharapkan pemerintah sendiri untuk mengatasi kemiskinan adalah sia-sia. Masyarakat lah yang harus berjuang untuk mewujudkan kemaslahatan.
Diusia yang telah menginjak 112 tahun, besar harapan Syarikat Islam terus menjadi teladan dalam kontribusi menata ekonomi umat. Kiprahnya untuk menjadi penerangan bagi sekitar harus terus didukung. Ketidakinginannya menjadi partai politik patut diacungi jempol ditengah kemunduran idealisme yang menerpa partai politik kita hari ini.

Syarikat Islam termasuk salah satu organisasi pertama yang ingin mensejahterakan Indonesia, menumpas kebodohan, mengurangi kemiskinan dan menjadikan umat merdeka di negeri sendiri. Ada sebuah optimistis pada Syarikat Islam untuk tetap konsisten dalam kiprahnya mewujudkan kemandirian umat. Teruslah berjuang untuk mewujudkan kemandirian umat, Syarikat Islam!

#SyarikatIslam #BlogCompetition
____________________________

Referensi:
[1] Badan Pusat Statistik
[2] Rosyid, Ahmad Uzlif. (2015). Tantangan Pengelolalaan Dana Filantropi Islam Indonesia
[3] Profil Penduduk Indonesia Hasil SUPAS 2015
[4] Ali, Mohammad Daud. (1988). Sistem Ekonomi Islam: Zakat dan Wakaf. Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press).

Tulisan lainnya :
error: Mohon maaf, copy paste tidak diperkenankan !!