Saya sepakat bahwa semua orang pada akhirnya akan menemukan jodoh kopinya. Saya misalnya, penikmat Kapal Api sejak masih dibangku sekolah dasar. Bagi orang desa, tak begitu sulit menemukannya. Pada warung-warung tetangga yang lebih murah sekaligus asyik ketika ditanya, “Kapal Apinya nggak sekalian dua puluh bungkus aja, Mas?”.
Bagi kami, rasa yang disuguhkan kapal api itu pas dengan lidah kami, wong ndeso. Jangan heran jika Ibu punya puluhan renteng kapal api untuk disediakan bila ada saudara atau teman Bapak mampir ke rumah. Kadang cuma secangkir itu aja yang dapat kami berikan ke tamu. Untungnya karena tamunya banyak dari temennya Ayah, suguhan kopi tak bakal ditolak. Malah obrolan kadang jadi melebar kalau sudah habis satu gelas. Memang benar kalau ngopi merangsang ngobrol tanpa henti karena #KapalApiPunyaCerita.
“Boleh nambah secangkir Kapal Api Luwak saja? hahaha,” canda tamu itu yang sudah lima jam di rumah.
Jelas Lebih Enak karena tidak hanya soal harga kaki lima rasa bintang lima, namun juga kepekatan disetiap seruputnya sesuai dengan lidah Indonesia. Itu muncul dari racikan dari biji kopi berkualitas tinggi diproses dengan maksimal. Saya jadi curiga dengan kecanggihan masing roasting yang mampu menyuguhkan kopi sempurna. Sulit ditebak!
“sluuurp, ah….” tak terasa sudah dua bungkus untuk malam ini.
Enaknya kapal api bukan hanya tentang penghilang kantuk atau teman diskusi para aktivis pergerakan, tapi karena taste sudah melakat kuat dilidah. Pecandu kopi sudah bisa membedakan mana Kapal Api mana bukan. Saat saya merantau ke Surabaya untuk studi perguruan tinggi, banyak yang bilang kota ini panas. Nyatanya justru saya malah dapat menikmati Kapal Api lebih lama. Sehari tanpanya lebih kejam daripada Ibu kost yang menagih iuran bulanan. Ah, sepertinya fanatisme kopi saya sudah berada pada level memuncak. Pecandu kopi boleh bilang, satu hari tanpa kopi bikin hidup hilang motivasi.
Jika ditanya, kenapa blog ini begitu produktif dengan ide baru? Tanyakan saja pada Kapal Api. Kenapa sebegitu ngalirnya dalam merangsang ide-ide liar keluar dari kepala. Itulah barangkali ditemui banyak orang menyediakan secangkir Kapal Api di samping laptopnya. Pemecah kebuntuan? Bisa jadi.
Satu lagi, soal traveling. Masih teringat jelas pendakian gunung pertama kali tahun lalu di Gunung Penanggungan. Kurindukan ketika dinginnya malam di tenda sambil menyeruput secangkir Kapal Api. Sekalipun angin penggunungan berhembus kencang, tapi tegukan kopi yang membahasi tenggorokan menghangatkan badan. Jika butuh teman traveling, maka para travel blogger wajib memasukkan Kapal Api sebagai list barang yang wajib dibawa. Sepakat?
Itulah alunan cerita yang menyebabkan kenapa Kapal Api Jelas Lebih Enak. Terlepas dari history yang begitu melegenda, bagi saya Kapal Api selalu setia menemani. Bisa dibilang semua orang punya jodoh kopinya, dan jodoh kopi saya adalah Kapal Api.
Bagaimana dengan kalian?
Apakah jodoh kopi kita sama?
Boleh tulis di kolom komentar jawabannya.
Baca juga: Kopi Mangrove SEGARA