Menemukan Kebhinnekaan di Kampus

“Tidak penting apa pun agama atau sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik buat semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu” – Abdurahman Wahid.

Tidak perlu saya sampaikan panjang lebar data tentang berapa puluh ribu jumlah pulau, kekayaan bahasa daerah, total suku yang mendiami atau jumlah pemeluk agama di Indonesia hanya untuk menyadari keberagaman pada bangsa ini.

Sudah begitu jelas bahwa Indonesia adalah “Bhinneka Tunggal Ika”, berbeda-beda tetap satu jua. Bahwa perbedaan adalah keniscayaan dan menyamakan perbedaan adalah kemustahilan. Pancasila sudah menjadi dasar negara dan pandangan hidup dalam mengatasi kemajemukan yang ada.

Tak begitu sulit untuk menemukan Indonesia pada ranah yang lebih sederhana, misalnya pada kampus. Jangan dipikir perbedaan hanya menyoal agama, namun juga jurusan, fakultas, organisasi, politik, status sosial, asal daerah dan sebagainya. Pada akhirnya, merawat keberagaman tidak semudah mengisi kartu rencana studi secara online. Inilah mengapa kajian keberagaman menjadi isu ‘seksi’ karena belum banyak dijamah para akademisi. 


Pada Universitas Airlangga, misalnya, bisa dilihat bagaimana kebhinnekaan itu ada. Mahasiswa, dosen dan staf akademik berasal dari latar belakang yang beragam. Mahasiswa pun juga diberikan ruang seluas-luasnya untuk memilih Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) sesuai agama yang dianut. Ada UKM Kerohanian Islam, Hindu, Kristen, Katolik, Konghucu yang berada memiliki sekretriat pada gedung yang sama yaitu Student Center. 

Apalagi Ketua Forum Komunikasi (FORKOM UKM) tahun ini menjadi giliran UKM Kerohanian. Artinya, masing-masing dari UKM kerohanian diberikan kebebasan untuk mengajukan pemimpin terbaiknya sebagai kandidat ketua. Setelah melalui proses demokrasi yang panjang, akhirnya terpilihlah Ketua FORKOM UKM bernama Andi Semara Putra, saudara kami dari UKM KEROHANIAN HINDU DHARMA.

Dalam ihwal kebhinekaan agama, ruang-ruang diskusi juga coba dimasifkan untuk mematik gairah generasi muda pada integrasi dalam keberagamaan. Memang diakui perbedaan agama menjadi yang paling sensitif ketimbang yang lain. Namun ada rasa bangga ketika saudara kami dari UKM Kerohanian Katolik Unair berhasil menggelar forum apik yang mengundang berbagai perwakilan masing-masing agama untuk berkumpul dalam satu ruangan. 
Mereka tidak membahas siapa yang paling benar atau paling bisa masuk surga, tapi mereka membahas bagaimana generasi muda (khususnya mahasiswa Unair) dapat membina hubungan harmonis antarumat beragama. Hal ini menjadi bukti bahwa masih adanya keterbukaan, semangat persatuan, dan damai dari masing-masing agama.


Pada tingkat fakultas, maka di FISIP Universias Airlangga juga ditemukan kebhinnekaan. Ketika telah masuk waktu sholat dhuhur dan ashar, maka lantunan adzan menggema melalui speaker TOA yang dipasang di sudut fakultas. Sekalipun tidak semua beragama Islam, namun umat non muslim pun menghargainya dan tidak mempersalahkan itu. 

Berkaitan asal daerah, tentu mahasiswa setiap jurusan berasal dari latar belakang daerah yang berbeda. Pada FISIP Unair sendiri, menurut Dekan, persentase mahasiswa luar jawa sekitar 25%. Artinya, tidak begitu sulit menemukan orang yang fasih bahasa sunda, berdialeg bali, menguasai tari saman dan masih banyak lagi. 

Di jurusan Ilmu Komunikasi sendiri ada mahasiswa yang berasal dari Nabire, Papua. Ivan, begitulah ia sering dipanggil. Dalam kegiatan perkuliahan, ia berhasil membuat setiap diskusi kelas semakin berbobot karena berusaha mengutarakan segala problematika dan budaya yang ada di Papua. Dengan itu, kami (mahasiswa yang bukan dari Papua) menjadi tahu secara langsung sebenarnya apa saja keluh kesah saudara kita di sana. Primordialisme hancur digantikan oleh semangat egalitarianisme. Sebuah potret harmoni yang menggugah hati nurani. 

Bahkan menuju World Class University (WCU), Unair membuka Kelas Internasional tingkat fakultas melalui program “Academic Mobility Exchange for Undergraduate at Airlangga” (AMERTA). Program tersebut telah berhasil menarik minat mahasiswa luar negeri untuk studi di Universitas Airlangga.
Tentang beragamnya asal daerah mahasiswa, maka ada ide ‘nakal’ yang coba saya utarakan. Ide ini bernama Nebeng Traveler. Konsepnya adalah mahasiswa Jawa (khususnya Surabaya karena mungkin mereka tidak pulang kampung) melakukan liburan ke asal daerah temannya yang berasal dari luar Jawa.


Misalnya, ada teman kampus yang berasal dari Ambon dan bersedia menjadi tuan rumah, maka teman-teman dari Jawa bisa turut berlibur ke Ambon. Bukan hanya hunting foto instagramable, namun di sana mereka juga bisa membaur dengan masyarakat, belajar budaya setempat bahkan menjadikan itu sebagai sajian paper akademik yang berbobot.

Jika ide “Nebeng Traveler” ini dilakukan rutin per semester, maka ada sekitar 7-8 daerah baru yang dapat dijelajahi setiap mahasiswa sampai mereka wisuda. Selain lebih dapat mengetahui wisata di Indonesia, ide ini juga sangat bagus untuk merekatkan hubungan kekeluargaan sesama mahasiswa dan ajang mengenal budaya masyarakat Indonesia. 
Seorang teman dari Ambon memberi salam padaku

Pada akhirnya, konsekuensi menjadi Indonesia adalah menerima segala perbedaan yang ada, terlebih pada kampus sebagai tempat intelektual. Perbedaan bukan untuk disalahkan. Perbedaan justru membuat kehidupan menjadi lebih indah seperti pelangi yang terpancar dari beragam warna yang ada. 
Sebenarnya yang perlu dipikirkan adalah bagaimana multikulturalisme tidak hanya sebatas wacana dan kata-kata, tetapi bisa diejawantahkan dalam dunia nyata. Apalagi mahasiswa yang katanya agent of change itu, sudahkah menjadi panutan? 

“Jika kita tidak bisa mengakhiri perbedaan-perbedaan kita, paling tidak kita dapat membuat dunia untuk menjadi tempat yang aman bagi keanekaragaman.” – John F. Kennedy

Tulisan lainnya :
error: Mohon maaf, copy paste tidak diperkenankan !!