“Meskipun hidup di kota metropolitan, kita harus memegang apa dulu yang diwariskan nenek moyang dan para pejuang, yaitu gotong royong” kata Bu Risma dengan penuh semangat.
Sebelum parade bunga dan budaya dimulai, alunan musik Keroncong Kurmunadi terdengar syahdu bersamaan dengan obrolan warga disekitar saya. Disaat yang bersamaan pula, beberapa petugas berusaha menertibkan warga agar tidak melawati batas yang telah ditentukan. “Suwun, Rek. Wani tertib,” begitulah imbauan yang tertulis dalam selembar kertas. Sesekali saya juga mengabadikan momen setahun sekali ini yang sayang untuk dilewatkan begitu saja.
Saya sendiri sudah tidak asing dengan Parade Budaya dan Bunga karena telah rutin di gelar tiap tahunnya. Namun, ada yang berbeda untuk tahun ini. Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya nampaknya melakukan re-branding sehingga mengganti nama dari “Parade Budaya dan Bunga” menjadi “Surabaya Vaganza”. Tentu harapannya agar acara tahunan ini semakin berkelas dan mengglobal sehingga tidak hanya diketahui warga Surabaya, namun juga seluruh Indonesia dan dunia. Apalagi acara ini katanya dihadiri perwakilan 10 kota dari 8 negara yaitu Cangsa, Pnom Penh, Shenzen, Gunsan, Yangon, Zamboanga, Bangkok, Da Nang, dan Ho Chi Minh.
Ada yang dari perusahaan swasta, sekolah, universitas, organisasi/komunitas, perwakilan daerah seperti Bali, Bogor, NTT, Papua, Makasar, Tapanuli dan masih banyak lagi. Surabaya Vaganza telah menjadi bukti nyata tentang keberagaman Surabaya dan Indonesia. Berbicara masalah kebhinnekaan memang sudah menjadi sebuah keniscayaan. Kita tidak sama, tapi bisa kerjasama. Dan itu yang harus ditunjukan warga Surabaya.
Melalui Surabaya Vagaza pula, mereka seperti menegaskan jati diri sebagai “arek Suroboyo” yang bangga dengan kotanya. Dibuktikan dengan keseriusan dan kekompakan penampilan atau atraksi yang dipertunjukan dalam pawai. Sudah seharusnya warga Surabaya saling kerjasama tanpa memandang primordial. Hal itu sejalan dengan apa yang dituturkan Bu Risma dalam sambutan pembuka:
“Kita tidak boleh egois. Mari kita pikirkan bersama dan kita selesaikan masalah dengan bersama”.
Beberapa kuliner khas Surabaya juga saya temukan di sekitar Taman Bungkul. Misalnya, Semanggi Surabaya yang beralaskan daun pisang. Lumayanlah, bisa mengobati kerinduan tradisional yang sudah mulai langka. Dengan demikian, Surabaya Vaganza bukan hanya tentang pawai, namun juga tentang kuliner dan fenomena masyarakat yang guyub.
Akhirnya, saya ucapkan selamat Hari Jadi Kota Surabaya yang ke-725. Semoga Surabaya menjadi kota yang damai, aman, sejahtera dan berprestasi selalu. Bangga Surabaya!
Buat kamu yang ketinggilan dengan kemeriahan Surabaya Vagaza, bisa tonton video berikut ini:
Sampai jumpa di Surabaya Vaganza tahun depan!