Surabaya Vaganza: Rupa Keindahan dalam Kebhinnekaan Warga Surabaya

“Meskipun hidup di kota metropolitan, kita harus memegang apa dulu yang diwariskan nenek moyang dan para pejuang, yaitu gotong royong” kata Bu Risma dengan penuh semangat.

Dari sela kerumunan warga Surabaya yang memadati sekitar kantor Bappeda dan Tugu Pahlawan, saya mencoba menyelinap untuk melihat lebih dekat jalannya Parade Budaya dan Bunga pada Minggu, 6 Mei 2018. Apalagi kalau bukan dalam rangka memeriahkan Hari Jadi Kota Surabaya (HJKS) ke-725 tahun. Mei memang selalu menjadi bulan yang istimewa bagi Kota Surabaya.

Sebelum parade bunga dan budaya dimulai, alunan musik Keroncong Kurmunadi terdengar syahdu bersamaan dengan obrolan warga disekitar saya. Disaat yang bersamaan pula, beberapa petugas berusaha menertibkan warga agar tidak melawati batas yang telah ditentukan. “Suwun, Rek. Wani tertib,” begitulah imbauan yang tertulis dalam selembar kertas. Sesekali saya juga mengabadikan momen setahun sekali ini yang sayang untuk dilewatkan begitu saja.

Saya sendiri sudah tidak asing dengan Parade Budaya dan Bunga karena telah rutin di gelar tiap tahunnya. Namun, ada yang berbeda untuk tahun ini. Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya nampaknya melakukan re-branding sehingga mengganti nama dari “Parade Budaya dan Bunga” menjadi “Surabaya Vaganza”. Tentu harapannya agar acara tahunan ini semakin berkelas dan mengglobal sehingga tidak hanya diketahui warga Surabaya, namun juga seluruh Indonesia dan dunia. Apalagi acara ini katanya dihadiri perwakilan 10 kota dari 8 negara yaitu Cangsa, Pnom Penh, Shenzen, Gunsan, Yangon, Zamboanga, Bangkok, Da Nang, dan Ho Chi Minh. 

Bagi saya, esensi dari Surabaya Vaganza sebenarnya bukan hanya tentang seberapa bagus mobil hias atau seberapa indah kostum yang dikenakan. Lebih dari itu, makna dari Surabaya Vaganza adalah ajang kebhinnekaan sekaligus persatuan. Bisa dilihat jika peserta pawai yang berasal dari beragam daerah, suku, agama dan latar belakang yang berbeda-beda. Tidak kurang dari 83 peserta (kelompok) adu kreatif dalam pawai Budaya dan Bunga tersebut.

Ada yang dari perusahaan swasta, sekolah, universitas, organisasi/komunitas, perwakilan daerah seperti Bali, Bogor, NTT, Papua, Makasar, Tapanuli dan masih banyak lagi. Surabaya Vaganza telah menjadi bukti nyata tentang keberagaman Surabaya dan Indonesia. Berbicara masalah kebhinnekaan memang sudah menjadi sebuah keniscayaan. Kita tidak sama, tapi bisa kerjasama. Dan itu yang harus ditunjukan warga Surabaya.

Melalui Surabaya Vagaza pula, mereka seperti menegaskan jati diri sebagai “arek Suroboyo” yang bangga dengan kotanya. Dibuktikan dengan keseriusan dan kekompakan penampilan atau atraksi yang dipertunjukan dalam pawai. Sudah seharusnya warga Surabaya saling kerjasama tanpa memandang primordial. Hal itu sejalan dengan apa yang dituturkan Bu Risma dalam sambutan pembuka:

“Kita tidak boleh egois. Mari kita pikirkan bersama dan kita selesaikan masalah dengan bersama”. 

Pada hakikatnya, Surabaya butuh kerja semua pihak, tidak hanya pemerintah namun juga warganya, agar Surabaya semakin berprestasi baik dikancah nasional dan internasional. Surabaya bisa bersanding dengan kota-kota maju di dunia. 
Adapun rute dari Surabaya Vaganza dimulai dari Tugu Pahlawan menuju menuju Jalan Kramat Gantung kemudian lurus ke arah Siola hingga ke depan kantor Grahadi Surabaya. Lalu peserta Surabaya Vaganza menuju ke jalan Panglima Sudirman dan Urip Sumoharjo. Dari kawasan Darmo, semua peserta pawai akan finish di Taman Bungkul, Surabaya. Rute yang ditempuh sekitar 6,6 km dengan cuaca Surabaya begitu cerah.
Sepanjang jalannya Surabaya Vaganza, saya dapat menemukan raut wajah penuh antusias dan optimis. Teriknya matahari tak menghentikan semangat dalam memeriahkan hari jadi kota pahlawan. Tak hanya yang muda, namun juga anak-anak dan orang tua yang berbaur menjadi satu. Bahkan, ada anak-anak dan remaja yang naik ke atas mobil pemadam kebakaran demi melihat kemeriahan Surabaya Vaganza. Itu telah membuktikan bahwa Surabaya Vagaza telah merebut hati warga Surabaya.

Beberapa kuliner khas Surabaya juga saya temukan di sekitar Taman Bungkul. Misalnya, Semanggi Surabaya yang beralaskan daun pisang. Lumayanlah, bisa mengobati kerinduan tradisional yang sudah mulai langka. Dengan demikian, Surabaya Vaganza bukan hanya tentang pawai, namun juga tentang kuliner dan fenomena masyarakat yang guyub.

Akhirnya, saya ucapkan selamat Hari Jadi Kota Surabaya yang ke-725. Semoga Surabaya menjadi kota yang damai, aman, sejahtera dan berprestasi selalu. Bangga Surabaya!

Buat kamu yang ketinggilan dengan kemeriahan Surabaya Vagaza, bisa tonton video berikut ini:

Sampai jumpa di Surabaya Vaganza tahun depan!

Tulisan lainnya :
error: Mohon maaf, copy paste tidak diperkenankan !!